Senin, 14 November 2011 | 08:09
Jakarta - Kecerobohan dokter umum ataupun petugas kesehatan dalam memberikan antibiotik untuk mengobati berbagai penyakit infeksi membuat banyak penderita pneumonia mengalami kebal antibiotik.
Bahkan, pada sejumlah kasus di Indonesia, kekebalan sudah mencapai tahap akhir sehingga tak ada lagi obat yang dapat digunakan untuk menyembuhkan.
Guru Besar Paru dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Hadiarto Mangunnegoro di Jakarta, Sabtu (12/11), menegaskan, tidak semua penyakit yang ditimbulkan oleh kuman
membutuhkan antibiotik untuk pengobatannya.
membutuhkan antibiotik untuk pengobatannya.
Pemberian antibiotik harus memperhitungkan riwayat penyakit yang dialami pasien sebelumnya. Konsumsi antibiotik pasien juga harus diperhatikan, seperti jenis, dosis, dan masa pemberian antibiotik. Antibiotik harus diberikan berdasarkan uji laboratorium yang lengkap.
”Banyak antibiotik diberikan hanya berdasarkan pengalaman sehingga sering kali antibiotik yang diberikan tak cocok dengan jenis kumannya,” kata Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia M Arifin Nawas.
Pemberian antibiotik secara asal-asalan itu banyak dilakukan dokter umum. Akibatnya, ketika penyakit semakin parah dan ditangani dokter spesialis, kekebalan antibiotik sudah terjadi sehingga menjadi sulit ditangani.
Kondisi itu diperparah dengan buruknya pemahaman masyarakat dalam mengonsumsi antibiotik. Mereka sering kali tidak mengonsumsinya hingga tuntas karena merasa kondisi tubuh sudah membaik. Selain itu, buruknya pengawasan penjualan antibiotik juga membuat masyarakat bebas membeli antibiotik.
Martahan Sitorus dari Subdirektorat Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut, Kementerian Kesehatan, mengakui rendahnya kemampuan dokter, khususnya yang bertugas di puskesmas, dalam mematuhi aturan pemberian antibiotik.
Sejumlah tenaga kesehatan sudah mendapat pelatihan penggunaan antibiotik. Namun, karena kendali tenaga kesehatan ada pada pemerintah daerah, banyak tenaga kesehatan yang sudah dilatih dipindahkan posisinya hingga manfaat pelatihan tak optimal.
Penyebab kematian utama
Pneumonia adalah salah satu jenis radang paru yang bisa disebabkan oleh virus, bakteri, atau jamur. Karena penyebabnya kuman, pengobatan utama harus menggunakan antibiotik. Gejala penyakit ini mirip dengan influenza biasa, seperti demam, sakit kepala, batuk, nyeri dada, hingga sakit pada otot.
Penyakit ini banyak diderita anak berusia di bawah lima tahun (balita) dan para lansia. Pneumonia juga banyak menjadi penyakit penyerta penderita penyakit jantung, diabetes, dan beberapa jenis kanker.
Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kementerian Kesehatan, Tjandra Yoga Aditama mengatakan, pneumonia merupakan penyebab kematian 13,2 persen anak balita dan 12,7 persen anak di Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2010 menempatkan pneumonia sebagai penyebab kematian tertinggi pasien rawat inap di rumah sakit sebesar 7,60 persen, jauh lebih tinggi daripada kematian akibat cedera.
Menurut Hadiarto, meningkatnya angka harapan hidup masyarakat Indonesia dan perkembangan penyakit non-infeksi yang mulai banyak menyerang kelompok usia produktif membuat jumlah penderita pneumonia terus membengkak. Banyaknya kelompok orang dewasa yang menderita pneumonia membuat beban ekonomi yang harus ditanggung tinggi.
”Jika antibiotik diberikan secara tepat, sesuai dosis, jenis, dan pola kuman di setiap daerah, pneumonia tanpa komplikasi dapat sembuh hanya dalam waktu 5-7 hari,” ujarnya.
Sesudah tiga hari pasca-pemberian antibiotik, dokter harus melihat respons antibiotik yang diberikan. Jika sesuai, pemberian antibiotik tinggal dituntaskan dua hingga lima hari berikutnya.
sumber : kompas